UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSASKI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
|||||||
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa pembangunan nasional adalah
suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap
berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
|
||||
b.
|
bahwa globalisasi informasi telah
menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga
mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan
Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi
dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
|
||||||
c.
|
bahwa perkembangan dan kemajuan
Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah
memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;
|
||||||
d.
|
bahwa penggunaan dan pemanfaatan
Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan
memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan demi kepentingan nasional;
|
||||||
e.
|
bahwa pemanfaatan Teknologi
Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian
nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
|
||||||
f.
|
bahwa pemerintah perlu mendukung
pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman
untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan
sosial budaya masyarakat Indonesia;
|
||||||
g.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
|
||||||
Mengingat
|
:
|
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
|
|||||||
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK.
|
|||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
|
|||||||
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
|
|||||||
1.
|
Informasi Elektronik adalah satu
atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
|
||||||
2.
|
Transaksi Elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
|
||||||
3.
|
Teknologi Informasi adalah suatu
teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan,
menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
|
||||||
4.
|
Dokumen Elektronik adalah setiap
Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
|
||||||
5.
|
Sistem Elektronik adalah
serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
|
||||||
6.
|
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.
|
||||||
7.
|
Jaringan Sistem Elektronik adalah
terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun
terbuka.
|
||||||
8.
|
Agen Elektronik adalah perangkat
dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan
terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang
diselenggarakan oleh Orang.
|
||||||
9.
|
Sertifikat Elektronik adalah
sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi
Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
|
||||||
10.
|
Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak
dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
|
||||||
11.
|
Lembaga Sertifikasi Keandalan
adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui,
disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan
mengeluarkan sertifikat
|
||||||
12.
|
keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
|
||||||
13.
|
Tanda Tangan Elektronik adalah
tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
|
||||||
14.
|
Penanda Tangan adalah subjek hukum
yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
|
||||||
15.
|
Komputer adalah alat untuk
memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan
fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
|
||||||
16.
|
Akses adalah kegiatan melakukan
interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
|
||||||
17.
|
Kode Akses adalah angka, huruf,
simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan
|
||||||
18.
|
Kunci untuk dapat mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
|
||||||
19.
|
Kontrak Elektronik adalah
perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
|
||||||
20.
|
Pengirim adalah subjek hukum yang
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
|
||||||
21.
|
Penerima adalah subjek hukum yang
menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
|
||||||
22.
|
Nama Domain adalah alamat internet
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat
digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan
karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
|
||||||
Orang adalah orang perseorangan,
baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
|
|||||||
22.
|
Badan Usaha adalah perusahaan
perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
|
||||||
23.
|
Pemerintah adalah Menteri atau
pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
|
||||||
Pasal 2
|
|||||||
Undang-Undang ini berlaku untuk
setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
|
|||||||
BAB IIASAS DAN TUJUANPasal 3
|
|||||||
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi.
|
|||||||
Pasal 4
|
|||||||
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk :
|
|||||||
a.
|
mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
|
||||||
b.
|
mengembangkan perdagangan dan
perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
|
||||||
c.
|
meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan publik;
|
||||||
d.
|
membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab; dan
|
||||||
e.
|
memberikan rasa aman, keadilan, dan
kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
|
||||||
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA
TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
|
|||||||
(1)
|
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang
sah.
|
||||||
(2)
|
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.
|
||||||
(3)
|
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
|
||||||
(4)
|
Ketentuan mengenai Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk :
|
||||||
a.
|
surat yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
|
||||||
b.
|
surat beserta dokumennya yang
menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta.
|
||||||
Pasal 6
|
|||||||
Dalam hal terdapat ketentuan lain
selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu
informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
|
|||||||
Pasal 7
|
|||||||
Setiap Orang yang menyatakan hak,
memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan
adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal
dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan.
|
|||||||
Pasal 8
|
|||||||
(1)
|
Kecuali diperjanjikan lain, waktu
pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan
pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim
dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk
atau dipergunakan Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang berada
di luar kendali Pengirim.
|
||||||
(2)
|
Kecuali diperjanjikan lain, waktu
penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan
pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem
Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal Penerima telah menunjuk
suatu Sistem Elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik,
penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
memasuki Sistem Elektronik yang ditunjuk.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat dua atau lebih
sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:
|
||||||
a.
|
waktu pengiriman adalah ketika
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi
pertama yang berada di luar kendali Pengirim;
|
||||||
b.
|
waktu penerimaan adalah ketika
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi
terakhir yang berada di bawah kendali Penerima.
|
||||||
Pasal 9
|
|||||||
Pelaku usaha yang menawarkan produk
melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar
berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
|
|||||||
Pasal 10
|
|||||||
(1)
|
Setiap pelaku usaha yang
menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai pembentukan
Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 11
|
|||||||
(1)
|
Tanda Tangan Elektronik memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
|
||||||
a.
|
data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
|
||||||
b.
|
data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam
kuasa Penanda Tangan;
|
||||||
c.
|
segala perubahan terhadap Tanda
Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
|
||||||
d.
|
segala perubahan terhadap Informasi
Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
|
||||||
e.
|
terdapat cara tertentu yang dipakai
untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
|
||||||
f.
|
terdapat cara tertentu untuk
menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap
Informasi Elektronik yang terkait.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut tentang
Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 12
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang yang terlibat dalam
Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan
Elektronik yang digunakannya.
|
||||||
(2)
|
Pengamanan Tanda Tangan Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
|
||||||
a.
|
sistem tidak dapat diakses oleh
Orang lain yang tidak berhak;
|
||||||
b.
|
Penanda Tangan harus menerapkan
prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap
data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
|
||||||
c.
|
Penanda Tangan harus tanpa
menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda
Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera
memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai
Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan
Elektronik jika :
|
||||||
1.
|
Penanda Tangan mengetahui bahwa
data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau
|
||||||
2.
|
keadaan yang diketahui oleh Penanda
Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya
data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
|
||||||
d.
|
dalam hal Sertifikat Elektronik
digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus
memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan
Sertifikat Elektronik tersebut.
|
||||||
(3)
|
Setiap Orang yang melakukan
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab
atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.
|
||||||
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI
ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi
Elektronik
Pasal 13
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang berhak menggunakan
jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
|
||||||
(2)
|
Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan
pemiliknya.
|
||||||
(3)
|
Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik terdiri atas:a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
Indonesia; danb. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
|
||||||
(4)
|
Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
|
||||||
(5)
|
Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik asing yang beroperasi di Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
|
||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 14
|
|||||||
Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat
(5) harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap
pengguna jasa, yang meliputi :
|
|||||||
a.
|
metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi Penanda Tangan;
|
||||||
b.
|
hal yang dapat digunakan untuk
mengetahui data diri pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan
|
||||||
c.
|
hal yang dapat digunakan untuk
menunjukkan keberlakuan dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.
|
||||||
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
|
|||||||
(1)
|
Setiap Penyelenggara Sistem
Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik
sebagaimana mestinya.
|
||||||
(2)
|
Penyelenggara Sistem Elektronik
bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
|
||||||
Pasal 16
|
|||||||
(1)
|
Sepanjang tidak ditentukan lain
oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem
Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan
minimum sebagai berikut :
|
||||||
a.
|
dapat menampilkan kembali Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi
yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
|
||||||
b.
|
dapat melindungi ketersediaan,
keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik
dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
|
||||||
c.
|
dapat beroperasi sesuai dengan
prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
|
||||||
d.
|
dilengkapi dengan prosedur atau
petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat
dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut; dan
|
||||||
e.
|
memiliki mekanisme yang
berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban
prosedur atau petunjuk.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut tentang
Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
|
|||||||
(1)
|
Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.
|
||||||
(2)
|
Para pihak yang melakukan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam
melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik selama transaksi berlangsung.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 18
|
|||||||
(1)
|
Transaksi Elektronik yang
dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
|
||||||
(2)
|
Para pihak memiliki kewenangan
untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
|
||||||
(3)
|
Jika para pihak tidak melakukan
pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
|
||||||
(4)
|
Para pihak memiliki kewenangan
untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin
timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
|
||||||
(5)
|
Jika para pihak tidak melakukan
pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
|
||||||
Pasal 19
|
|||||||
Para pihak yang melakukan Transaksi
Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
|
|||||||
Pasal 20
|
|||||||
(1)
|
Kecuali ditentukan lain oleh para
pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang
dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
|
||||||
(2)
|
Persetujuan atas penawaran
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
|
||||||
Pasal 21
|
|||||||
(1)
|
Pengirim atau Penerima dapat
melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang
dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
|
||||||
(2)
|
Pihak yang bertanggung jawab atas
segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
|
||||||
a.
|
jika dilakukan sendiri, segala
akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
para pihak yang bertransaksi;
|
||||||
b.
|
jika dilakukan melalui pemberian
kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
tanggung jawab pemberi kuasa; atau
|
||||||
c.
|
jika dilakukan melalui Agen
Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
|
||||||
(3)
|
Jika kerugian Transaksi Elektronik
disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga
secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
|
||||||
(4)
|
Jika kerugian Transaksi Elektronik
disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak
pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna
jasa layanan.
|
||||||
(5)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
|
||||||
Pasal 22
|
|||||||
(1)
|
Penyelenggara Agen Elektronik
tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya
yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam
proses transaksi.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL,
DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
|
|||||||
(1)
|
Setiap penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan
prinsip pendaftar pertama.
|
||||||
(2)
|
Pemilikan dan penggunaan Nama
Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik,
tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar
hak Orang lain.
|
||||||
(3)
|
Setiap penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain
secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama
Domain dimaksud.
|
||||||
Pasal 24
|
|||||||
(1)
|
Pengelola Nama Domain adalah
Pemerintah dan/atau masyarakat.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal terjadi perselisihan
pengelolaan Nama Domain oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih
sementara pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.
|
||||||
(3)
|
Pengelola Nama Domain yang berada
di luar wilayah Indonesia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui
keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengelolaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 25
|
|||||||
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet,
dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan
Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||||||
Pasal 26
|
|||||||
(1)
|
Kecuali ditentukan lain oleh
Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas
persetujuan Orang yang bersangkutan.
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang yang dilanggar haknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian
yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||||||
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan perjudian.
|
||||||
(3)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
|
||||||
(4)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
|
||||||
Pasal 28
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
|
||||||
Pasal 29
|
|||||||
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
|
|||||||
Pasal 30
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
|
||||||
(3)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan.
|
||||||
Pasal 31
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke,
dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang
lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan
adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
|
||||||
(3)
|
Kecuali intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
|
||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 32
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Orang lain atau milik publik.
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik
Orang lain yang tidak berhak.
|
||||||
(3)
|
Terhadap perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat
diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
|
||||||
Pasal 33
|
|||||||
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat
terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik
menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
|
|||||||
Pasal 34
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
|
||||||
a.
|
perangkat keras atau perangkat
lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan
untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 33;
|
||||||
b.
|
sandi lewat Komputer, Kode Akses,
atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik
menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
|
||||||
(2)
|
Tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan
penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik
itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.
|
||||||
Pasal 35
|
|||||||
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik.
|
|||||||
Pasal 36
|
|||||||
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
|
|||||||
Pasal 37
|
|||||||
Setiap Orang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang
berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
|
|||||||
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang dapat mengajukan
gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
|
||||||
(2)
|
Masyarakat dapat mengajukan gugatan
secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||
Pasal 39
|
|||||||
(1)
|
Gugatan perdata dilakukan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Selain penyelesaian gugatan perdata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN
MASYARAKAT
Pasal 40
|
|||||||
(1)
|
Pemerintah memfasilitasi
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Pemerintah melindungi kepentingan
umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban
umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||
(3)
|
Pemerintah menetapkan instansi atau
institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib
dilindungi.
|
||||||
(4)
|
Instansi atau institusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam
cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk
kepentingan pengamanan data.
|
||||||
(5)
|
Instansi atau institusi lain selain
diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
|
||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal 41
|
|||||||
(1)
|
Masyarakat dapat berperan
meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
|
||||||
(2)
|
Peran masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk
oleh masyarakat.
|
||||||
(3)
|
Lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
|
||||||
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
|
|||||||
Penyidikan terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan
dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
|
|||||||
Pasal 43
|
|||||||
(1)
|
Selain Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik.
|
||||||
(2)
|
Penyidikan di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan,
kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||||
(3)
|
Penggeledahan dan/atau penyitaan
terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus
dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
|
||||||
(4)
|
Dalam melakukan penggeledahan
dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
|
||||||
(5)
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
||||||
a.
|
menerima laporan atau pengaduan
dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
|
||||||
b.
|
memanggil setiap Orang atau pihak
lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi
sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan
ketentuan Undang-Undang ini;
|
||||||
c.
|
melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini;
|
||||||
d.
|
melakukan pemeriksaan terhadap
Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini;
|
||||||
e.
|
melakukan pemeriksaan terhadap alat
dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang
diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||||||
f.
|
melakukan penggeledahan terhadap
tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak
pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
|
||||||
g.
|
melakukan penyegelan dan penyitaan
terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
|
||||||
h.
|
meminta bantuan ahli yang
diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang
ini; dan/atau
|
||||||
i.
|
mengadakan penghentian penyidikan
tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum
acara pidana yang berlaku.
|
||||||
(6)
|
Dalam hal melakukan penangkapan dan
penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua
pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
|
||||||
(7)
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.
|
||||||
(8)
|
Dalam rangka mengungkap tindak
pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja
sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.
|
||||||
Pasal 44
|
|||||||
Alat bukti penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini
adalah sebagai berikut :
|
|||||||
a.
|
alat bukti sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
|
||||||
b.
|
alat bukti lain berupa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
|
||||||
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat
(4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
||||||
(3)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
|
||||||
Pasal 46
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00
(tujuh ratus juta rupiah).
|
||||||
(3)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
|
||||||
Pasal 47
|
|||||||
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
|||||||
Pasal 48
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
||||||
(3)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||||
Pasal 49
|
|||||||
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
|
|||||||
Pasal 50
|
|||||||
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
|||||||
Pasal 51
|
|||||||
(1)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
|
||||||
(2)
|
Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
|
||||||
Pasal 52
|
|||||||
(1)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau
eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana
pokok.
|
||||||
(2)
|
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap
Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan
publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap
Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan
tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan,
lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal
ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi
dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
|
||||||
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
|
|||||||
Pada saat berlakunya Undang-Undang
ini, semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan
dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
|
|||||||
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
|
|||||||
(1)
|
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
|
||||||
(2)
|
Peraturan Pemerintah harus sudah
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang
ini.
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||||||
Disahkan di Jakartapada tanggal 21 April 2008PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
|
|||||||
Diundangkan di Jakartapada tanggal
21 April 2008MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATA
|
|||||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2008 NOMOR 58
|
|||||||
Salinan sesuai dengan aslinyaDEPUTI
MENTERI SEKRETARIS NEGARABIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,ttd
MUHAMMAD SAPTA MURTI
|
Peraturan dan Regulasi (Cyberlaw)
Cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan
hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi
informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world
law), dan hukum mayantara. Di Indonesia saat ini sudah ada dua Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang berhubungan dengan dunia cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi
Informasi dan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Perbandingan
Cyberlaw di Berbagai Negara
1. Indonesia
Inisiatif
untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus
utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai
transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis
yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya
yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan
kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun ternyata dalam perjalanannya ada
beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw”
Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang
terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalah gunaan komputer,
hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk
pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama
domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada
undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk
memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Malaysia – Lima Cyberlawas
Lima
cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban.
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh
parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan
dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan
tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997
menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang
tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman
untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Cyberlaw ini praktisi medis untuk
memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui
menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut
pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur
konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan
nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The
Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan
oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang
merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal
terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
3.
Singapore
- The Electronic Transactions Act (ETA)
1998
The
Electronic Transactions Act telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk menciptakan
kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik
di Singapore yang memungkinkan bagi Menteri Komunikasi Informasi dan Kesenian
untuk membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan otoritas sertifikasi
di Singapura. ETA dibuat dengan tujuan :
·
Memudahkan komunikasi elektronik atas
pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
·
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu
menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan
dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari
undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin /
mengamankan perdagangan elektronik;
·
Memudahkan penyimpanan secara elektronik
tentang dokumen pemerintah dan perusahaan;
4.
Vietman
– Cyber Crime
Di
negara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah keberadaannya, hal ini
dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang mengatur masalah cyber, padahal
masalah seperti spam, perlindungan konsumen, privasi, muatan online, digital
copyright dan ODR sangat penting keberadaannya bagi masyarakat yang mungkin
merasa dirugikan.
5.
Thailand
– Cyber Crime dan Kontrak Elektronik
Dalam
hal ini Thailand masih lebih baik dari pada Negara Vietnam karena Negara
Vietnam hanya mempunyai 3 cyberlaw sedangkan yang lainnya belum ada bahkan
belum ada rancangannya.
6. Amerika Serikat – Uniform Electronic Transaction Act (UETA)
UETA
adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat
yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws
(NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin
US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya
adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yag berbeda atas
bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan
elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media
perjanjian yang layak.
Beberapa
Jenis Cyberlaw
1. Computer Crime Act
Undang-undang
penyalahan penggunaan Information Technology di Malaysia Computer Crime Act
(Malaysia) merupakan suatu peraturan undang – undang yang memberikan
pelanggaran – pelanggaran yang berkaitan dengan penyalah gunaan komputer,
undang – undang ini berlaku pada tahun 1997. Computer crime berkaitan dengan
pemakaian komputer secara illegal oleh pemakai yang bersifat tidak sah, baik
untuk kesenangan atau untuk maksud mencari keuntungan. Cybercrime merupakan
suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan komputer dalam
jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan
komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak
milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana
masyarakat.
2. Council of Europe Convention on
Cyber Crime
Organisasi
international dengan fungsi untuk melindungi manusia dari kejahatan dunia maya
dengan aturan dan sekaligus meningkatkan kerjasama internasional. 38 Negara,
termasuk Amerika Serikat tergabung dalam organisasi international ini. Tujuan
dari organisasi ini adalah memerangi cybercrime, meningkatkan investigasi
kemampuan. Council of Europe Convention on Cyber Crime mengadopsikan aturan
yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan dunia maya.
0 komentar:
Posting Komentar